Menurutnya, masyarakat petani setempat telah menggarap lahan tersebut sejak 1968 secara turun temurun sampai dengan saat ini. Kemudian pada tahun 2021, muncul sertifikat atas nama orang lain tanpa sepengetahuan masyarakat penggarap.
“Sementara itu masyarakat tidak pernah merasa mengalihkan lahan tersebut kepada orang lain baik sewa menyewa maupun melakukan jual beli karena mereka paham bahwa tanah yang mereka garap merupakan wilayah kehutanan Register 38 Gunung Balak,” kata Sumaindra, dalam keterangannya, seperti dikutip dari Lampung77.id –jaringan Lampung77.com, Jumat (1/12/2023).
“Bahkan masyarakat tidak pernah mengetahui dan melihat adanya aktifitas pengukuran yang dilakukan oleh BPN Lampung Timur,” lanjutnya.
Ia mengatakan, masyarakat penggarap baru mengetahui lahan tersebut telah terbit sertifikat pada tahun 2021 ketika ada seseorang yang tidak dikenal datang membawa bukti SHM dan meminta penggarap untuk membayar SHM tersebut.
Sebelumnya, masyarakat setempat mengira lahan yang mereka garap masuk ke dalam kawasan hutan register 38 Gunung Balak. Sehingga, masyarakat tidak berupaya atau tidak pernah melakukan pengurusan secara administratif dengan melakukan pendaftaran tanah ke Kantor BPN Lampung Timur.
“Lebih dari 264 kepala keluarga menjadi korban yang terdiri dari 8 desa yang menggarap di lahan tersebut. Bahwa yang menjadi mayoritas penggarap berasal dari Desa Sripendowo,” ujarnya.
Sumaindra juga menyebutkan, masyarakat petani setempat juga kerap kali didatangi oleh oknum-oknum yang mencari lahan dengan menunjukan kepemilikan SHM yang terbit pada tahun 2021.
“Selain itu, masyarakat juga menerima intimidasi dengan bentuk dipaksa untuk membayar sertifikat dengan nominal uang sebesar Rp 150.000.000 hingga Rp 200.000.000 sesuai dengan luas lahan yang digarap. Jika enggan membayar masyarakat penggarap diancam akan dilaporkan ke Pihak kepolisian atas penyerobotan lahan,” pungkasnya.
Baca Juga: Polisi Amankan Barang Bukti Rp 9,3 Miliar Korupsi Bendungan Marga Tiga Lampung Timur
(And/P1)