LAMPUNG77.COM – Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengungkapkan suhu panas di Indonesia yang terjadi belakangan ini bukan gelombang panas.
Menurutnya, fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan ini, jika ditinjau secara lebih mendalam secara karakteristik fenomena maupun secara indikator statistik pengamatan suhu, tidak termasuk kedalam kategori gelombang panas.
Secara karakteristik fenomena, kata Dwikorita, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun. Sehingga, potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.
“Sedangkan secara indikator statistik suhu kejadian, lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2°C melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pada pekan lalu hanya terjadi satu hari tepatnya pada tanggal 17 April 2023,” kata Dwikorita, dalam Siaran Pers seperti dikutip dari situs resmi BMKG, Rabu (26/4/2023).
“Suhu tinggi tersebut sudah turun dan kini suhu maksimum teramati berada dalam kisaran 34 hingga 36°C di beberapa lokasi. Variasi suhu maksimum 34°C – 36°C untuk wilayah Indonesia masih dalam kisaran normal klimatologi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” lanjutnya.
Secara klimatologis, dalam hal ini untuk wilayah Jakarta, pada bulan April-Mei-Juni adalah bulan-bulan di mana suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober-November.
Keterkaitan Gelombang Panas dan Radiasi Ultraviolet
Ia menyebutkan, belakangan ini pada berbagai media, informasi kondisi suhu udara yang panas juga dikaitkan dengan fluktuasi radiasi ultraviolet (UV) dari sinar matahari. Besar kecilnya radiasi UV yang mencapai permukaan bumi memiliki indikator nilai indeks UV.
Indeks ini dibagi menjadi beberapa kategori: 0-2 (Low), 3-5 (Moderate), 6-7 (High), 8-10 (Very high), dan 11 ke atas (Extreme).
Secara umum, kata Dwikorita, pola harian indeks ultraviolet berada pada kategori “Low” di pagi hari. Mencapai puncaknya di kategori “High”, “Very high”, sampai dengan “Extreme” ketika intensitas radiasi matahari paling tinggi di siang hari antara pukul 12.00 sampai 15.00 waktu setempat. Kemudian, bergerak turun kembali ke kategori “Low” di sore hari.
“Pola ini bergantung pada lokasi geografis dan elevasi suatu tempat, posisi matahari, jenis permukaan, dan tutupan awan,” ujarnya.
Tinggi rendahnya indeks UV, lanjut Dwikorita, tidak memberikan pengaruh langsung pada kondisi suhu udara di suatu wilayah. Untuk wilayah tropis seperti Indonesia, pola harian seperti disampaikan di atas secara rutin dapat teramati dari hari ke hari meskipun tidak ada fenomena Gelombang Panas.
Faktor cuaca lainnya seperti berkurangnya tutupan awan dan kelembapan udara juga dapat memberikan kontribusi lebih terhadap nilai indeks UV. Untuk lokasi dengan kondisi umum cuacanya diprakirakan cerah-berawan pada pagi sampai dengan siang hari dapat berpotensi menyebabkan indeks UV pada kategori “Very high” dan “Extreme” di siang hari.
“Masyarakat disarankan agar tidak perlu panik menyikapi informasi UV harian tersebut, serta mengikuti dan melaksanakan himbauan respon bersesuaian yang dapat dilakukan untuk masingmasing kategori index UV, seperti menggunakan perangkat pelindung atau tabir surya apabila melakukan aktifitas di luar ruangan,” kata dia.
Baca ke halaman selanjutnya >>> Gelombang Panas Asia Masih Berlangsung