LAMPUNG77.com – Sejumlah wilayah Lampung masih diguyur hujan lebat bahkan disertai petir dan angin kencang, meski seharusnya saat ini sudah memasuki musim kemarau.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut kondisi cuaca ini merupakan fenomena kemarau basah. Lantas, sampai kapan fenomena ini akan melanda wilayah Lampung?
Koordinator Data dan Informasi BMKG Lampung, Rudi Harianto memprediksi fenomena kemarau basah akan melanda wilayah Lampung hingga Agustus 2025.
Baca Juga: Siap-siap, Lampung Mulai Masuk Puncak Musim Kemarau 2025
“Ini fenomena Kemarau basah. Potensi hujan kita prakirakan sampai akhir Agustus 2025,” kata Rudi, saat dihubungi Lampung77.com, Sabtu (14/6/2025).
Apa Itu Kemarau Basah?
Dilansir laman resmi BMKG, kemarau basah adalah kondisi ketika hujan masih turun secara berkala pada musim kemarau, atau disebut juga sebagai kemarau yang bersifat di atas normal.
Biasanya, musim kemarau di Indonesia identik dengan cuaca panas dan minim hujan. Namun, dalam kemarau basah, intensitas hujan masih tergolong tinggi meski frekuensinya menurun.
Penyebab Kemarau Basah
Menurut BMKG, kemarau basah dipicu oleh dinamika atmosfer regional dan global, seperti suhu muka laut yang hangat, angin monsun aktif, serta La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif. Dampaknya, hujan tetap turun meski sudah masuk musim kemarau.
BMKG menyatakan La Nina sedang menuju fase netral. La Nina sendiri adalah fenomena pendinginan suhu laut di Pasifik tengah yang bisa meningkatkan curah hujan di Indonesia, khususnya di wilayah dengan perairan hangat.
Musim kemarau tahun ini diperkirakan datang normal atau sedikit lebih lambat di 409 Zona Musim (ZOM), dengan curah hujan sebagian besar masih dalam kategori normal. Publikasi Klima Edisi VI 2022 juga menyebut La Nina dapat memicu anomali cuaca, termasuk terjadinya kemarau basah di Indonesia.
Dampak Kemarau Basah
Kemarau basah membawa dampak ganda. Di satu sisi, pasokan air meningkat sehingga mendukung sektor perairan. Namun, bagi pertanian, kondisi ini bisa merugikan. Lahan menjadi terlalu lembap, menyebabkan gagal panen pada komoditas seperti jagung, kacang kacangan, dan kedelai. Kemudian, hama dan penyakit juga lebih mudah berkembang dalam kondisi lembap.
Perubahan pola hujan yang tidak sesuai dengan prakiraan membuat petani kesulitan merencanakan aktivitasnya. Hal ini mencerminkan dampak nyata dari perubahan iklim global, yang menantang pola lama dalam mengelola musim. Untuk mengurangi risikonya, diperlukan pemantauan rutin atmosfer dan suhu laut, serta penyampaian informasi iklim yang akurat dan mudah diakses masyarakat.
Baca ke halaman selanjutnya >>> Cara mengantisipasi kemarau basah…